Negara (Bali Post)
Jelang panen raya, para petani kesulitan mencari sekaa manyi (kelompok pemanen) untuk memanen padinya. Sebab, kini bermunculan mesin otomatis yang digunakan untuk memanen padi. Banyaknya pengusaha mesin pemanen padi otomatis itu membuat sekaa manyi semakin terpinggirkan.
Padahal dengan menggunakan mesin otomatis biayanya lebih tinggi dibandingkan memanfaatkan jasa sekaa manyi. Terlebih untuk memanen padi sekarang, tergantung pada tenaga buruh-buruh tani dari luar Bali dan mesin pemanen otomatis.
Para penebas atau petani masih bergantung pada buruh panen dari Jawa, karena upahnya yang lebih murah. Kini buruh tani tersebut juga semakin tergerus karena bermunculan mesin panen otomatis.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Jembrana I Ketut Wiratma, Kamis (28/4) kemarin mengatakan, memasuki panen raya hampir seluruh subak akan panen. Masalah yang sering dialami adalah kesulitan mencari sekaa manyi, sehingga tak jarang penebas atau petani menggunakan buruh tani dari jawa yang ongkosnya lebih murah. Itu pun kini terbatas dan harus bergiliran antar-subak.
Karena itu, kini tiap tahun pemerintah memberikan bantuan mesin pemotong padi. Pihak dinas sejatinya sudah memiliki mesin itu, namun masih yang berukuran besar. Dari usulan subak-subak yang ada, khususnya yang lokasinya sulit di jangkau meminta mesin yang lebih kecil. “Tahun ini yang kecil (mesin pemotong padi - red) ada 10 unit,”ujarnya.
Mesin itu sangat dibutuhkan petani untuk mempercepat memanen padi mereka. Ke depan para petani diharapkan bisa menggunakan mesin untuk mempermudah panen padi. Di sejumlah subak sekarang ini jarang ditemukan sekaa manyi. Masih ada beberapa warga yang melakukan buruh tani secara pribadi.
Seperti Ni Nengah Yasi (53), warga Yeh Kuning, Kecamatan Jembrana. Ia masih menggeluti pekerjaan itu hingga sekarang. Penghasilannya pun cukup lumayan dengan upah harian. Namun kini ia mengaku sudah mencari pekerjaan itu, karena sebagian besar menggunakan buruh padi di Jawa.
Menurutnya, penghasilan dari buruh padi saat panen cukup lumayan disbanding menjual arak. Yasi sebelumnya menjual arak yang dibeli dari Pangkung Lubang. Penghasilan per minggu sekitar Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu. Kini ia tak menjual lagi dan mimilih menjadi buruh panen padi. Saat tidak panen, Janda anak satu ini membantu orang membuat banten dan menerima upah harian.
Sementara itu, para buruh panen dari Jawa juga mengalami nasib serupa. Salah satu buruh pane asal Regojambi, Banyuwangi, Eni (23) mengaku penghasilannya berkurang. Pasalnya, beberapa subak di Jembrana sudah menggunakan mesin pemotong padi yang dinilai lebih praktis.”Dulu bisa bergiliran sebulan. Dari sini (Kaliakah-red) lalu ke Mendoyo. Sekarang ada yang sudah panen pakai mesin,”terangnya.
Ia dating bersama Sembilan rekannya dan menginap sementara di tenda-tenda dekat sawah. “Upahnya per kaping, satu ton bisa Rp 400ribu,”akunya.
Sumber : Bali Post