DENPASAR - Rabies terus menjadi masalah kesehatan serius di Bali, yang membutuhkan perhatian dan penanganan intensif. Meski jumlah kasus gigitan anjing rabies dan kematian akibat rabies di Bali mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, ancaman rabies masih ada. Pada tahun 2024, sejak Januari, tercatat sekitar 36.000 gigitan anjing di Bali, dengan 268 di antaranya positif terinfeksi rabies, mengakibatkan 5 orang meninggal dunia. Penyebaran kasus rabies tercatat hampir di seluruh kabupaten/kota di Bali, sehingga diperlukan sinergi lebih luas dalam pengendalian rabies di Bali. Upaya pengendalian rabies tidak bisa hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran serta sektor swasta, akademisi, peneliti, asosiasi, serta industri pariwisata.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Made Indra, dalam arahannya pada acara "The Second High-Level Meeting of Mayors and Regents on Rabies Prevention in Bali" yang diadakan di Hotel Truntum, Kuta, Bali, pada Selasa, 10 September 2024.
Dewa Indra menekankan pentingnya keterlibatan industri pariwisata dalam upaya pengendalian rabies di Bali. Sebagai destinasi wisata dunia, Bali sangat rentan terhadap isu kesehatan, termasuk rabies, yang dapat berdampak langsung pada jumlah kunjungan wisatawan. Jika kasus rabies tidak terkendali, sektor pariwisata Bali akan terdampak negatif. Oleh karena itu, industri pariwisata diharapkan bersinergi untuk menciptakan lingkungan bebas anjing liar yang berpotensi menyebarkan virus rabies.
Selain itu, Sekda Bali menyoroti tantangan utama dalam pengendalian rabies di Bali, yaitu populasi anjing yang tidak terkendali. Banyak anjing liar berkeliaran di tempat-tempat umum seperti pasar dan tempat pembuangan sampah. Anjing-anjing ini berpotensi menyebarkan rabies melalui gigitan mereka. Di sisi lain, budaya masyarakat yang memelihara anjing tetapi tidak merawatnya dengan baik, termasuk tidak rutin memvaksinasi, memperparah situasi. Masih banyak masyarakat yang menganggap remeh gigitan anjing dan tidak melaporkannya, sehingga terlambat mendapat perawatan medis, yang sering berakhir fatal.
"Pengendalian rabies di Bali memerlukan sinergi kuat dan mencakup spektrum yang lebih luas. Kita harus mengendalikan populasi anjing, menggencarkan vaksinasi, dan melaporkan segera setiap gigitan anjing. Vaksin rabies tersedia gratis. Kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk merawat anjing dengan baik, tidak membiarkan mereka berkeliaran. Dengan sinergi dari semua pihak, kita bisa mewujudkan Bali bebas rabies, dan pada akhirnya mencapai Asia bebas rabies di tahun 2030," ujar Dewa Indra.
Acara ini diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pengda Bali, Asia Pacific Cities Alliance for Health and Development (APCAT), World Organisation for Animal Health (WOAH), bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali. Dengan tema "Enhancing Political Commitment and Public-Private Partnership," kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat komitmen para pemimpin lokal dalam pencegahan dan pengendalian rabies melalui kebijakan berbasis bukti dan kemitraan publik-swasta menggunakan pendekatan One Health.
Melalui kegiatan ini, diharapkan adanya peningkatan komitmen multisektoral, termasuk sektor publik, swasta, dan pemangku kepentingan terkait, dalam upaya pencegahan dan pengendalian rabies di Bali.
Acara yang berlangsung selama satu hari ini diikuti oleh 100 peserta, termasuk perwakilan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se-Bali, World Health Organization (WHO), Asia Pacific Cities Alliance for Health and Development (APCAT), World Organisation for Animal Health (WOAH), Food and Agriculture Organization (FAO), Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP), Udayana One Health Collaborating Center (OHCC), kepala desa, pengelola objek wisata, organisasi profesi, akademisi, dan mitra media. Narasumber yang hadir berasal dari kalangan internasional, nasional, dan lokal.