×

Waspadai Lonjakan Inflasi, “Volatile Food” Jadi Perhatian

Jumat, 8 April 2016 pukul 08.50 (8 tahun yang lalu) | Oleh Sigapura

Waspadai Lonjakan Inflasi, “Volatile Food” Jadi Perhatian

Turunnya harga BBM belum menjadi jaminan turunnya harga-harga bahan pokok. Lonjakan inflasi masih memungkinkan terjadi, khususnya menjelang momen hari raya mendatang. Untuk itu, laju inflasi harus tetap diwaspadai . bagaimana di Bali?

DENGAN turunnya suku bunga perbankkan serta harga BBM, inflasi diharapkan dapat terjaga. Tingkat inflasi yang terjaga merupakan salah satu faktor penentu suku bunga dana simpan dan kredit yang bisa mengarah ke satu digit. Inflasi bulanan perlu dijaga karena biasanya dipicu oleh kenaikan harga bahan pangan (volatile food).

Terkait perkembangan inflasi di Pulau Dewata, berdasarkan data BI Bali menunjukkan kinerja stabilitas harga pada 2015 telah menunjukkan perkembangan positif.

Pada 2015 tingkat inflasi bali tercatat 2,75 persen (yoy), jauh lebih rendah dari dua tahun sebelumnya yaitu 2013 tercatat  8,16 persen (yoy) dan 2014 sebesar  8,43 persen (yoy).

Selain itu, angka tersebut merupakan angka inflasi terendah selama 19 tahun terakhir. Angka inflasi tersebut juga lebih rendah dibanding inflasi nasional 3,35 persen(yoy) pada 2015. Hal ini tentu tidak terlepas dari makin solidnya kerja sama dan kerja keras dari TPID provinsi, kabupaten dan kota.

Bagaiman inflasi pada 2016? Kepala KPw BI Bali Dewi Setyowati mengatakan, TPID Bali masih menghadapai tantangan yang tidak makin ringan, Perkembangan terkini inflasi Bali pada Maret 2016 tercatat meningkat mencapai 0,19 persen(mtm), sama dengan laju inflasi nasional 0,19 persen (mtm). Peningkatan tersebut didorong oleh peningkatan harga kelompok bahan makanan khususnya komoditas holtikultura seperti cabai dan bawang yang cepat rusak pada musim penghujan. Namun, secara tahunan inflasi Bali tercatat 3,59 persen (yoy), masih berada dibawah inflasi nasional  4,45 persen (yoy). Angka ini juga lebih rendah disbanding periode yang sama tahun sebelumnya 6,42 persen (yoy).

Perempuan pertama KPw BI Bali ini menerangkan, bila dicermati lebih dalam, factor utama penyebab tingginya inflasi di Bali bersumber dari kelompok harga bahan makanan (volatile food) disbanding dengan administered price  dan inflasi inti. Kondisi ini tidak terlepas dari keterbatasan daya dukung Bali dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Tingginya sumbangan inflasi kelompok  volatile food yang meliputi daging ayam ras, telur ayam ras, cabai merah, bawang merah dan beras sering dengan relative tingginya sumbangan kelompok tersebut terhadap inflasi Bali (mencapai 0,23). Besarnya sumbangan komoditas  bahan pangan menunjukkan bahwa komoditas yang tergabung dalam kelompok  volatile food  perlu menjadi perhatian dalam upaya pengendalian inflasi di Bali.

Berdasarkan frekuensi komoditas penyumbang inflasi selama tahun 2015, kelompok bahan makanan mendominasi sebagai penyumbang inflasi  Bali antara lain adalah beras sebanyak 8 kali di Denpasar dan 5 kali di Singaraj, daging ayam ras 8 kali di Denpasar dan 8 kali di Singaraja, bawang merah 4 kali di Denpasar dan 7 kali di Singaraja, cabai merah dan rawit 3 kali di Denpasar dan 4 kali di Singaraja.

Berdasarkan bobotnya kelompok bahan makanan turut memiliki bobot yang cukup besar. Beberapa diantaranya adalah beras 0,048, daging ayam ras 0,016, bawang merah 0,005, cabai merah 0,004, cabai rawit 0,005 dan daging sapi 0,002.

Tantangan pengendalian inflai Bali ke depannya, Dewi memaparkan terdapat beberapa tantangan pengendalian inflasi Bali, yaitu potensi kebutuhan makanan pangan seiring dengan Bali yang merupakan tujuan wisata yang masih potensial dengan jumlah penduduk 4,1 juta dan kunjungan wisatawan mencapai lebih dari 10 juta pada 2015.

Tantangan lainnya, adanya ketergantungan Bali terhadap daerah lain dalam memenuhi kebutuhan terutama kebutuhan bahan pangan. Termasuk pula masih terbatasnya dukungan infrastruktur konektivitas antar daerah di Bali untuk dukungan logistic. Mencermati perkembangan tersebut, guna membantu mengurangi tekanan inflasi dari kelompok  volatile food, khususnya dari kelompok bahan makanan, kata dia, BI, pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, bersama TNI dan Polri telah mengembangkan demplot-demplot komoditas penyumbang inflasi, yaitu padi di Gianyar dan Jembrana, bawang merah di Bangli dan Buleleng, cabai merah di Karangasem, sapi Bali di Karangasem serta percontohan urban farming.

Keberhasilan dari peningkatan produksi pada demplot-demplot tersebyt diharapkan dapat diimplementasikan pada area tanam yang lebih luas. Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pasokan komoditas penyumbang inflasi, disamping tentunya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

“Dengan tantangan yang tidak makin ringan tersebut upaya menjaga stabilitas harga barang dan jasa di daerah sangat ditentukan oleh perencanaan program kerja yang terstruktur dan terintegrasi, serta harus memiliki keselarasan dengan arah tujuan pembangunan daerah dan nasional dan harus sejalan dengan visi dan amanat presiden RI”ujarnya.

Dengan perkembangan tersebut, inflasi bali diperkirakan dapat mencapai target 4% k urang lebih 1% (yoy) pada 2016. Optimism tersebut didukung dengan perkiraan peningkatan pertumbuhan ekonomi Bali dengan kisaran 6,09 persen (yoy) – 6,84 persen (yoy), seiring meningkatnya kinerja industry pariwisata, sebagai dampak perkiraan peningkatan perekonomian global serta peningkatan peran dan komitmen pemerintah dalam mendukung pembangunan infrastruktur, yang dapat memberikan efek multiplier tehadap perekonomian.

Sebagai upaya bersama seluruh pemangku kepentingan dalam upaya pengendalian inflasi di Provinsi Bali, Bank Indonesia bersama TPID provinsi/kabupaten/kota se-Bali, telah menyusun roadmap pengendalian inflasi daerah 2015,2016 sampai dengan 2018. Selain itu, dalam rangka mengatasi masih terdapatnya assymetric information di tingkat produsen dan konsumen, pada kesempatan ini juga akan diresmikan pengembangan SiGapura yang telah di –lounching pada 11 Februari 2015 sebagai PIHPS Provinsi Bali dengan penambahan informasi harga ditingkat produsen.

Sementara berbicara perkembangan perekonomian Bali terkini yang pilar ekonominya ditopang oleh jasa pariwisata dengan share lapangan usaha kemudian akomodasi makan dan minum lebih dari 20 persen selama lima tahun terakhir, Bali masih dapat menunjukkan perkembangan perekonomian yang cukup kuat. Hal tersebut terlihat dari rata-rata pertumbuhan ekonomi Bali Lima tahun terakhir (2011-2015) yang mencapai 6,62 persen lebih tinggi di banding rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional Lima tahun terakhir 5,62 persen.

Pada 2015, pertumbuhan ekonomi Bali tercatat sebesar 6,04 persen, meskipun masih berada diatas angka pertumbuhan  nasional 6,73 persen (yoy). Perlambatan tersebut antara lain disebabkan oleh tertahannya perkembangan kinerja pariwisata seiring dengan bencana alam di sekitar wilayah Bali seperti erupsi Gunung Raung dan Gunung Barujari sehingga menutup oprasional Bandara I Gusti Ngurah Rai pada beberapa periode. Selain itu perlambatan ekonomi juga dipengaruhi oleh penurunan kinerja lapangan  usaha pertanian yang diakibatkan oleh elnino. Factor lain yang juga mempengaruhi perlambatan adalah kasus Bali Nine, daya beli masyarakat yang lemah, dan keamanan (isu bom).

Hal sama dikatakan pemerhati ekonomi , Dr. Irawan, Pascaturunnya harga BBM belum diikuti turunnya bahan pangan. Untuk itu, laju inflasi perlu dijaga ke depannya karena masih memungkinkan terjadi.

Sumber : Bisnis Bali