×

BI Bali Prediksi Inflasi Mei 2020 Lebih Rendah Secara Historis

Senin, 20 April 2020 pukul 12.21 (4 tahun yang lalu) | Oleh Sigapura

 Denpasar - Bank Indonesia memprediksi inflasi yang terjadi periode bulan April hingga Mei 2020 atau saat memasuki bulan Ramadhan 1441 Hijriyah hingga Hari Raya Idul Fitri secara pola historis lebih rendah.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho mengungkapkan, Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada periode April-Mei 2020 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan dan Idul Fitri akan lebih rendah dari pola historisnya.

Ada beberapa faktor yang mendasari hal tersebut. Antara lain permintaan konsumsi akan lebih rendah terkait berbagai Pembatasan Sosial Berskala Besar di berbagai daerah.

"Hal itu mengurangi mobilitas sosial yang berdampak pada berkurangnya aktivitas fisik sehingga mengurangi pola konsumsi," ungkap Trisno dalam siaran pers, Senin (20/4/2020).

Kemudian, pemerintah juga akan memastikan pasokan barang kebutuhan pokok, termasuk melalui peran TPI/TPID.

Sejak merebaknya kasus covid-19, KPwBI Provinsi Bali telah melakukan High Level Meeting (HLM) TPID dengan Pemkot Denpasar dan Pemkab Badung untuk antisipasi dampak covid-19 terhadap inflasi.

Selain itu, kondisi ekonomi secara keseluruhan menurun sehingga berdampak pada ekspektasi inflasi yang rendah. Serta nilai tukar stabil dengan harga komoditas rendah sehingga exchange rate pass through dan imported inflation rendah.

Pada bagian lain, Trisno mengutip pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, defisit transaksi berjalan triwulan I lebih rendah dari 1.5% Produk Domestik Bruto (PDB)

Hal tersebut didukung tiga faktor. Pertama, Neraca perdagangan yang membaik. COVID-19 berdampak pada penurunan ekspor akibat melambatnya permintaan dunia, terganggunya rantai penawaran global, serta rendahnya harga komoditas global.

Namun penurunan impor juga besar karena aktivitas produksi dalam negeri juga menurun. Neraca perdagangan Indonesia Maret 2020 surplus USD743,4 juta. Dengan perkembangan tersebut, neraca perdagangan Indonesia pada triwulan I 2020 surplus USD2,62 miliar.

"Kedua, defisit neraca jasa juga diperkirakan lebih rendah, didorong oleh penurunan devisa untuk biaya transportasi impor," tuturnya.

Sekitar 8% dari nilai impor dipergunakan untuk freight and insurance. Impor yang menurun cukup tajam berdampak pada kebutuhan untuk freight and insurance juga menurun.

Ketiga, penerimaan devisa pariwisata jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Perhitungan yang dilakukan sebelumnya hanya memperhitungkan penurunan devisa pariwisata dari sisi jumlah wisatawan asing yang masuk.

Namun, dalam perkembangannya terdapat pembatasan bepergian ke luar negeri termasuk pelaksanaan umroh, sehingga mengurangi penggunaan devisa dari wisatawan nusantara yang tidak jadi keluar negeri.

Penurunan devisa untuk wisatawan asing yang masuk sekitar USD2 miliar. Sementara itu, penurunan devisa yang keluar dari wisatawan nusantara yang tidak jadi keluar negeri sekitar USD1,6 miliar.

“Bank Indonesia juga memprediksi penurunan defisit transaksi berjalan kemungkinan akan meningkat pada triwulan II dan III 2020, sebab, dampak tekanan ekonomi akibat pandemi covid-19 lebih dalam pada periode ini," tandasnya.

Lalu berangsur membaik di triwulan IV dan pulih pada tahun depan. Sehingga, secara keseluruhan, defisit tahun berjalan tahun ini diperkirakan akan lebih rendah/

Trisno juga menyampaikan pergerakan nilai tukar rupiah yang bergerak stabil dan cenderung menguat menunjukkan keyakinan pasar yang terus membaik.

Terdapat empat faktor yang mendukung stabilitas nilai tukar. Pertama, pelaku pasar dalam dan luar negeri memiliki confidence karena Bank Indonesia selalu berada di pasar dan menempuh langkah-langkah yang diperlukan dalam menjaga stabilitas nilai tukar.

Kedua, confidence yang membaik ini didukung langkah-langkah yang ditempuh dari berbagai negara di dunia, baik dalam penanganan COVID-19 maupun stimulus fiskal dan moneter yang besar, termasuk di Indonesia.

Hal itu terlihat pada stimulus fiskal (kenaikan defisit fiskal) Pemerintah, quantitative easing dari Bank Indonesia dan kebijakan relaksasi kredit dari OJK. Ketiga, mekanisme pasar berlangsung dengan baik, sehingga mengurangi kebutuhan Bank Indonesia untuk melakukan stabilisasi.